Rabu, 05 Juni 2013

Konvensi-Konvensi Internasional

A. Konvensi Internasional Tentang Hak Cipta
     Latar Belakang
     Perlindungan dalam hak cipta secara domestik saja tidak cukup dan kurang bermanfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta, karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap saat dan tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar-benar diperoleh. Perlindungan hak cipta ini terdiri atas 2 konvensi internasional yaitu Berner Convention dan Universal Copyright Convention (UCC). Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak. 

Sejarah hak cipta

     Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
    Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
   Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.

Sejarah hak cipta di Indonesia

     Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
   Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
   Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 19972.
 
Sifat-sifat Hak Cipta
  • Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
  • Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak. Hak Cipta dapat  beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena :
    1. Pewarisan;
    2. Wasiat;
    3. Hibah;
    4. Perjanjian tertulis atau Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan
  • Jika suatu Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.
  • Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.
  • Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
  • Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.

A.       Pengertian Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan rumusan pasal 1 Undang-Undang Hak Cipta (UHC) Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hak cipta hanya dapat dimiliki oleh pencipta atau penerima hak disebut sebagai pemegang hak khususnya yang hanya boleh menggunakan hak cipta dan dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang mengganggu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh aturan hukum.
Hak cipta disebut juga hak ekslusif, bahwa selain pencipta, orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin dari penciptanya. Hak muncul secara otomatis setelah sesuatu ciptaan dihasilkan. Hak cipta tidak dapat dilakukan dengan cara penyerahan nyata karena mempunyai sifat manunggal dengan pencipta dan bersifat tidak berwujud videnya pada penjelasan Undang-Undang Hak Cipta (UHC) pasal 4 ayat 1 di Indonesia. Sifat manunggal menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan berarti pencipta harus ikut beralih ke tangan kreditur.

B.       Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 pada pasal 2 tentang Hak Cipta, secara tegas menyatakan dalam mengumumkan dan memperbanyak ciptaan serta memberi izin untuk itu harus memperhatikan pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Pembatasan yang dimaksud sudah tentu bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau memfungsikan Hak Cipta harus sesuai dengan tujuannya.
Berdasarkan sifatnya, menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 pada pasal 3 tentang Hak Cipta, memberikan jawaban sebagai berikut, ”Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak”. Perbedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak adalah perbedaan yang terpenting, menurut PITLO. Oleh karena itu, erat kaitannya dengan obyek jaminan. Benda-benda bergerak dan benda tidak bergerak selalu dibedakan dalam lembaga pertanggungan yang digunakan seperti gadai dan apotik. Jika dilihat dari sudut adatnya sebenarnya perbedaan yang demikian tidak ditemui tetapi perbedaan menurut hukum adat di Indonesia hanya ada dua hal yaitu benda tanah dan benda-benda lain yang bukan tanah, menurut Ter Haar.

C.       Penggunaan Undang-Undang Hak Cipta
Setiap pengguna hak harus memperhatikan terlebih dahulu apakah hal itu bertentangan atau merugikan kepentingan umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 pada pasal 2 tentang Hak Cipta menyatakan Hak Cipta adalah hak khusus, bahwa selain pencipta orang lain tidak berhak atasnya selain izin pencipta. Menimbulkan kesan sesungguhnya hak individu itu dihormati, namun dengan adanya pembatasan bahwa sesunggunya dalam penggunaannya tetap didasarkan atas kepentingan umum.
Oleh karena itu Indonesia menganut paham individualistis dalam arti sebenarnya. Hak individu di hormati sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Oleh karena itu, pembatasan bukan sebenarnya hanya membatasi hak individu saja, melainkan hanya memberi kebahagian bagi masyarakat secara keseluruhan. Sebenarnya yang dikehendaki dalam pembatasan Hak Cipta adalah agar setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang. 


B. Konvensi Internasional Tentang Berner Convention       
Konvensi Bern atau Konvensi Berne, merupakan persetujuan internasional mengenai hak cipta, pertama kali disetujui di Bern, Swiss pada tahun 1886. Konvensi Bern mengikuti langkah Konvensi Paris pada tahun 1883, yang dengan cara serupa telah menetapkan kerangka perlindungan internasional atas jenis kekayaan intelektual lainnya, yaitu paten, merek, dan desain industri. Sebagaimana Konvensi Paris, Konvensi Bern membentuk suatu badan untuk mengurusi tugas administratif. Pada tahun 1893, kedua badan tersebut bergabung menjadi Biro Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual (dikenal dengan singkatan bahasa Prancisnya, BIRPI), di Bern.  

    Pada tahun 1960, BIRPI dipindah dari Bern ke Jenewa agar lebih dekat ke PBB dan organisasi-organisasi internasional lain di kota tersebut, dan pada tahun 1967 BIRPI menjadi WIPO, Organisasi Kekayaan Intelektual Internasional, yang sejak 1974 merupakan organisasi di bawah PBB. Konvensi Bern mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut menandatanganinya (yaitu negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern), seolah-olah mereka adalah warga negaranya sendiri. Artinya, misalnya, undang-undang hak cipta Prancis berlaku untuk segala sesuatu yang diterbitkan atau dipertunjukkan di Prancis, tak peduli di mana benda atau barang itu pertama kali diciptakan.
Namun demikian, sekadar memiliki persetujuan tentang perlakuan yang sama tidak akan banyak gunanya apabila undang-undang hak cipta di negara-negara anggotanya sangat berbeda satu dengan yang lainnya, karena hal itu dapat membuat seluruh perjanjian itu sia-sia. Apa gunanya persetujuan ini apabila buku dari seorang pengarang di sebuah negara yang memiliki perlindungan yang baik diterbitkan di sebuah negara yang perlindungannya buruk atau malah sama sekali tidak ada? Karena itu, Konvensi Bern bukanlah sekadar persetujuan tentang bagaimana hak cipta harus diatur di antara negara-negara anggotanya melainkan, yang lebih penting lagi, Konvensi ini menetapkan serangkaian tolok ukur minimum yang harus dipenuhi oleh undang-undang hak cipta dari masing-masing negara. Hak cipta di bawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak membutuhkan pendaftaran secara eksplisit.
Konvensi Bern menyatakan bahwa semua karya, kecuali berupa fotografi dan sinematografi, akan dilindungi sekurang-kurangnya selama 50 tahun setelah si pembuatnya meninggal dunia, namun masing-masing negara anggotanya bebas untuk memberikan perlindungan untuk jangka waktu yang lebih lama, seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan Petunjuk untuk mengharmonisasikan syarat-syarat perlindungan hak cipta tahun 1993. Untuk fotografi, Konvensi Bern menetapkan batas mininum perlindungan selama 25 tahun sejak tahun foto itu dibuat, dan untuk sinematografi batas minimumnya adalah 50 tahun setelah pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun setelah pembuatannya apabila film itu tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50 tahun sejak pembuatannya.
Konvensi Bern direvisi di Paris pada tahun 1896 dan di Berlin pada tahun 1908, diselesaikan di Bern pada tahun 1914, direvisi di Roma pada tahun 1928, di Brussels pada tahun 1948, di Stockholm pada tahun 1967 dan di Paris pada tahun 1971, dan diubah pada tahun 1979. Pada Januari 2006, terdapat 160 negara anggota Konvensi Bern. Sebuah daftar lengkap yang berisi para peserta konvensi ini tersedia, disusun menurut nama negara atau disusun menurut tanggal pemberlakuannya di negara masing-masing. Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern memuat tiga prinsip dasar, yang menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya di bidang hak cipta, yaitu:
a. Prinsip national treatment
Prinsip national treatment
• Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri

b. Prinsip automatic protection
Prinsip automatic protection
• Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (no conditional upon compliance with any formality)

c. Prinsip independence of protection            
Prinsip independence of protection
• Bentuk perlindungan hukum hak cipta diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum Negara asal pencipta

    Konvensi bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer (karya tulis) dan artistic, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 Septemver 1986, dan telah beberapa kali mengalami revisi serta pentempurnaan-pentempurnaan. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Bern pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya secara berturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 juni 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14 Juni 1967 dan yang paling baru di Paris pada tanggal 24 Juni 1971. Anggota konvensi ini berjumlah 45 Negara. Rumusan hak cipta menutut konvensi Bern adalah sama seperti apa yang dirimuskan oleh Auteurswet 1912.
Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang terpenting dalam konvensi bern adalah mengenai perlindungan hak cipta yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan diberikan pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa sipencipta yang tergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan berkerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya terhadap warga negaranya sendiri.
Pengecualian diberikan kepada negara berkembang (reserve). Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, sosial, atau budaya.

C. Konvensi Internasional Tentang Universal Copyright Convention (UCC) 
   Universal Copyright Convention mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti bahwa secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai.
Dalam hal ini kepentingan negara-negara berkembang di perhatikan dengan memberikan batasan-batasan tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan.
Konvensi bern menganut dasar falsafah eropa yang mengaggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pada si pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli.
Universal Copyright Convention mencoba untuk mempertemukan antara falsafah eropa dan amerika yang memandang hak monopoli yang diberikan kepada si pencipta diupayakan untuk memperhatikan kepentingan umum. Universal Copyright Convention mengganggap hak cipta ditimbulkan karena adanya ketentuan yang memberikan hak kepada pencipta, sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.

D. Contoh Kasus Konversi Internasional Tentang Hak Cipta

     Android - Terus Mendunia atau Jelang Keruntuhannya?





Kabar tentang Android pada beberapa minggu terakhir ini cukup mengisi hampir separuh dari dunia smartphone global. Meski Apple tercatat sebagai vendor nomor satu dengan jumlah unit yang terjual namun Android telah menjadi OS nomor satu di Amerika dan sebagian besar negara di seluruh dunia.

Tidak mengherankan bagaimana Android bisa mendominasi pasar smartphone. Ini tak lain karena posisi Android sebagai open-source platform, gratis dan digunakan oleh lebih dari satu produsen termasuk HTC, Samsung, Acer, Sony Ericsson, LG, Motorola dan masih banyak lagi.

Yang cukup mengagetkan adalah ketika pada Juni lalu Google mengumumkan bahwa rata-rata aktivasi Android device per hari mencapai setengah juta unit. Perhitungan itu juga termasuk aktivasi tablet Android. Tidak saja telah menjadi fenomena yang luar biasa namun juga mengindikasikan bahwa smartphone telah menempati posisi penting di kehidupan masyarakat moderen.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Android bukan saja populer karena prestasinya. Ini terkait dengan berbagai paten yang diduga dilanggar oleh OS milik Google itu. HTC beberapa saat lalu dikabarkan harus membayar royalti pada Microsoft sebesar $5 untuk tiap Android device yang terjual. Buntut dari kasus itu CEO Microsoft Steve Ballmer pada Oktober 2010 mengatakan bahwa Android bukanlah OS gratis karena pada kenyataannya harus membayar royalti pada pemilik paten.

Dan yang terjadi bulan lalu juga tak kalah merisaukan. Samsung diwajibkan membayar Microsoft sebesar $15 untuk setiap Samsung Android device yang tejual. Bukan saja Microsoft, karena publik kini tahu bahwa Apple dan Oracle juga tengah gencar memburu Android sampai meja pengadilan karena dianggap menggunakan hak cipta mereka tanpa ijin.

Menanggapi semua hal itu Google tidak banyak berkomentar. Namun dalam blog resmi minggu lalu, Senior Vice President and Chief Legal Officer of Google, David Drummond, menulis bahwa Microsoft, Apple, Oracle dan perusahaan lain dengna sengaja bekerja sama untuk menjegal langkah Android dengan cara membuat dakwaan palsu tentang paten.
           
“Sebuah smartphone kemungkinan memiliki 250.000 paten di dalamnya dan pesaing kami berusaha menarik pajak tentang paten yang diragukan sebagai milik mereka itu sehingga Android devices akan menjadi barang mahal. Mereka berusaja keras agar produsen menjual Android devices dengan harga mahal. Mereka tidak berkompetisi dengan cara menciptakan fitur baru tapi malah justru melalui ligitasi.”
- David Drummond, Google’s Senior Vice President and Chief Legal Officer -
Kasus ini memang semakin panjang dan barangkali Anda bukanlah satu-satunya orang yang dibuat bingung. Untuk itu perlu dilihat kembali ke masa beberapa tahun lalu sebelum Android mendunia seperti sekarang.

Android, Inc. didirikan oleh Andy Rubin, Rich Milner, Nick Sears dan Chris White pada tahun 2003. Pada sebuah kesempatan wawancara dengan Newsweek Rubin mengatakan bahwa ada kemungkinan besar untuk menciptakan mobile device yang lebih pandai sehingga mampu mengetahui lokasi di pengguna dan apa yang dia inginkan.

Namun perusahaan yang ia pimpin tidak membuat banyak hal tentang apa yang telah ia bicarakan itu. Pada saat itu Android Inc. hanya mengerjakan software untuk ponsel.

Pada Agustus 2005 Google membeli Android Inc. dan kemudian otomatis membiayai semua kegiatan Android. Rubin menjadi pemimpin tim untuk mengembangkan Android dengan mengandalkan kekuatan pada Linux Kernel yang kemudian menghasilkan sebuah Android device pertama di bulan September 2008; HTC Dream 1. Namun karena adanya aspek Linux Kernel yang cukup besar maka hal itu ditengarai akan membawa kesulitan pada Google dan Android di masa mendatang.

Linux Kernel merupakan sistem operasi kernel yang juga adalah komponen utama pada kebanyak OS komputer dan pertama kali dirilis pada 1991. Dan merupakan contoh penting dari software open-source dan gratis (FOSS).

Sekarang Microsoft mengatakan bahwa OS yang berbasis Linux (seperti Android) merupakan OS yang melanggar hak cipta milik mereka. Menurut sebuah laporan yang dibuat Fortune di tahun 2007, CEO Microsoft Steve Ballmer mengatakan bahwa alasan utama software gratisan memiliki kualitas yang sangat tinggi karena software tersebut menggunakan lebih dari 200 paten milik Micorsoft tanpa ijin.
 





 

Sumber:




http://hanapert.blogspot.com/2011/03/hak-cipta-ucc-hak-moral-berner.html

http://android.gopego.com/2011/08/android-terus-mendunia-atau-jelang-keruntuhannya


https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta


http://lesseindonesia.com/index.php/in/layanan-kami-in/hak-cipta-in/126  
http://www.hukumonline.com/ 
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/203711038/bab2.pdf  
http://www.beritakaget.com/berita/3886/rija-abbas-bantah-sudah-jadi-tersangka-kasus-dugaan-pencurian-lagu.html



 

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar