Asal
usul pada upacara jamasan pusaka Mangkunegaran merupakan suatu tradisi upacara
jamasan atau atau siraman pusaka Mangkunegaraan di Kecamatan Selogiri,
Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa tengah. Sebuah tradisi upacara dengan
memandikan dua buah keris dan tombak peninggalan Raden Mas Said atau
Mangkunegaran I yang ditempatkan di Kecamatan Selogiri. Keris dan tombak
peninggalan tersebut memiliki sebuah nama. Keris-keris tersebut dinamakan Kyai
Koriwelang dan Kyai Jaladara sedangkan untuk tombak peninggalan dinamakan Kyai
Totok.
Tempat benda pusaka tersebut berada di Selogiri, Jawa
Tengah, ketika itu Raden Mas Said berusaha mempertahankan daerahnya dari
penjajah Belanda yang masuk ke daerah sekitar Gunung Wijil.
Dalam mempertahankan daerahnya itu, Raden Mas Said yang menggunakan
senjata-senjata pusaka dibantu oleh rakyat Selogiri yang berhasil
mengalahkan pasukan Belanda dalam perang dan berhasil juga menghalau
para pasukan dan Raden Mas Said pun kembali ke Mangkunegaran dengan
membawa keris dan tombak pusaka.
Pada tahun 1935, saat Mangkunegara VII berkuasa, keris dan
tombak pusaka Mangkunegara I diserahkan kepada masyarakat dan
kerabatnya yang berada di Kecamatan Selogiri, sebagai ucapan terima kasih atas
jasa yang telah diberikan oleh masyarakat dan kaum kerabatnya di Selogiri.
Pada saat mengadakan perlawanan di Gunung Wijil, Raden Mas Said sempat
menikahi gadis setempat yaitu Rara Rubiah, seorang puteri dari Kasan
Kamani dan menjadi isteri dari Raden Mas Said. Rara Rubiah pun
mengganti nama menjadi Raden Ayu Patah Aji. Kaum kerabatnya itu adalah
orang-orang yang berasal dari keturunan maupun kerabat Raden Ayu Patah
Aji.
Ketiga pusaka, masyarakat Selogiri kemudian membuat sebuah
bangunan berbentuk tugu memiliki ukuran 7x7 meter dan tinggi mencapai 6 meter.
Pada bagian puncak tugunya dibuat seperti kotak untuk menyimpan ketiga pusaka.
Untuk menutup dibuat seperti lempengan yang terbuat dari batu1. Setiap satu
tahun sekali mereka mengadakan upacara jamasan atau pemandian bagi
pusaka-pusaka yang dianggap keramat.
Tujuan
penyelenggaraan upacara jamasan pusaka Mangkunegaran adalah untuk mendapatkan
keselamatan, perlindungan dan ketenteraman. Bagi sebagian masyarakat Selogiri,
benda-benda pusaka dianggap mempunyai kekuatan gaib yang mendatangkan berkah
jika dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan. Jika tidak dirawat,
mereka percaya bahwa “isi” yang ada di dalam benda keramat akan pudar atau hilang
dan hanya berfungsi sebagai senjata biasa. Selain itu, fungsi lain dari jamasan
adalah senjata-senjata pusaka tidak lekas rapuh dan dapat bertahan lama. Pusaka
jika tidak dirawat dengan baik, maka kemungkian besar akan menjadi berkarat dan
akhirnya rusak maka, perlu dilakukan perawatan secara berkala agar jika
terdapat kerusakan dapat diketahui secara dini. Upacara jamasan pusaka
dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilakukan dalam upacara ini
adalah sebagai berikut:
1. Tahap
pengambilan pusaka yang disimpan di puncak tugu
2. Tahap
tirakatan
3. Tahap
arak-arakan
4. Tahap
pemandian atau jamasan pusaka.
Penyelenggaraan upacara jamasan pusaka dilakukan setiap satu tahun
sekali pada hari Jumat pertama di bulan Suro. Namun saat ini, setelah dikemas
untuk kepentingan kepariwisataan, upacara jamasan dilakukan pada hari libur
dengan alasan untuk menarik wisatawan baik asing maupun domestik.
Tempat pelaksanaan upacara jamasan pusaka bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pengambilan senjata pusaka Mangkunegara I dilakukan di sebuah tugu yang terletak di sebelah barat kantor, Kecamatan Selogiri.
Tempat pelaksanaan upacara jamasan pusaka bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pengambilan senjata pusaka Mangkunegara I dilakukan di sebuah tugu yang terletak di sebelah barat kantor, Kecamatan Selogiri.
Dalam prosesi tirakatan diadakan di pendopo Kecamatan Selogiri.
Untuk prosesi arak-arakan atau kirab diawali dari pendopo Kecamatan Selogiri,
dari kantor Kabupaten Wonogiri dan dilanjutkan ke Kodim Wonogiri. Sedangkan,
prosesi pencucian atau jamasan pusaka Mangkunegara I dilakukan di Waduk Gadjah
Mungkur. Dahulu tempat pelaksanaan jamasan dilakukan di pendopo Kecamatan
Selogiri. Namun, bupati Wonogori yang dijabat oleh Soemarsono menjadikan
upacara tersebut suatu aset atau agenda pariwisata yang pelaksanaannya
dipindahkan ke Waduk Gadjah Mungkur. Tujuannya adalah untuk mendukung program
pemerintah dalam meningkatkan pariwisata.
Pemimpin upacara bergantung pada kegiatan atau tahap yang
dilakukan dalam upacara jamasan pusaka Mangkunegaran. Pada tahap pengambilan
pusaka, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah salah seorang yang
dituakan dari kerabat Mangkunegaran. Pemimpin upacara yang bertindak akan di
tirakatan dan kirab menuju Kabupaten dan Kodim adalah Camat Selogiri. Pemimpin
upacara jamasan di Waduk Gadjah Mungkur adalah seorang abdi dalem Mangkunegaran
yang berpengalaman dalam melaksanakan upacara jamasan pusaka. Pihak-pihak
yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah:
1. Beberapa orang
kerabat Mangkunegara yang datang langsung dari Surakarta maupun yang bertempat
tinggal di Selogiri;
2. Para aparat Kecamatan
Selogiri maupun Kabupaten Wonogiri;
3. Beberapa kelompok
kesenian yang ada di wilayah Wonogiri; dan
4. Warga masyarakat
lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan
jalannya upacara.
Peralatan dan
perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara jamasan pusaka Mangkunegaran
adalah:
1. Jenang
abang
2. Jenang
putih
3. Jenang
baro-baro
4. Bunga
setaman yang terdiri dari bunga mawar, kenanga dan kantil
5. Kemenyan
6. Nasi uduk
7. Ingkung
ayam
8. Nasi
golong
9. Gecok
pecel itik
10. Pisang
11. Nasi
putih
12. Sirih
13. Rempeyek
14. Tempe goreng yang
dibuat kecil-kecil
15. Haban/warangan
(bahan untuk membersihkan pusaka)
Upacara jamasan pusaka diawali sekitar pukul 16.00 WIB dengan
mengadakan prosesi pengambilan pusaka yang ditempatkan di puncak sebuah tugu
yang terletak di sebelah barat kantor Kecamatan Selogiri. Prosesi pengambilan
benda pusaka ini hanya dilakukan oleh beberapa orang yang masih mempunyai
hubungan darah dengan Mangkunegara. Sebelum mengambil keris dan tombak pusaka,
di ambang pintu masuk tugu terlebih dahulu diadakan pembakaran kemenyan dan
peletakan sesajen yang berupa: gecok pecel itik, jenang putih, jenang abang,
jenang boro-boro, pisang, nasi putih, suruh, rempeyek, tinto, dan tempe goreng
berbentuk kecil-kecil.
Selesai membakar kemenyan dan menaruh sesajen, empat atau lima kerabat
Mangkunegara mulai menaiki tangga besi yang dipersiapkan khusus oleh pemerintah
Kecamatan Selogiri, mengambil pusaka-pusaka di puncak tugu. Saat prosesi
pengambilan pusaka ini sedang berlangsung, masyarakat Selogiri lain yang bukan
merupakan kerabat Mangkunegaran hanya melihat dan menanti dari bawah sambil
berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah pusaka
milik Mangkunegara I berhasil diturunkan, mereka membawanya menuju pendopo
Kecamatan Selogiri. Pusaka-pusaka tersebut kemudian ditaruh di sebuah tempat
khusus yang terletak di bagian tenggara pendopo. Setelah itu, mereka
beramah-tamah sejenak dengan camat dan muspika Kecamatan Selogiri. Selesai
beramah-tamah, para kerabat Mangkunegara itu pulang lagi ke Surakarta.
Pada pukul 20.00 WIB para kerabat Mangkunegara itu kembali lagi
ke Selogiri untuk mengikuti acara tirakatan di pendopo Kecamatan Selogiri.
Selain para kerabat Mangkunegara, yang hadir dalam acara tirakatan itu
diantaranya adalah para pamong desa, tokoh masyarakat, tamu undangan dari
beberapa instansi di Kabupaten Wonogiri, dan warga masyarakat
Selogiri. Acara tirakatan ini dibuka dengan sambutan dari Camat Selogiri
yang berisi tentang maksud dan tujuan diadakannya upacara jamasan pusaka
Mangkunegara. Selesai acara sambutan dari Pak Camat, para tamu undangan yang
sebelumnya sudah ditunjuk oleh panitia mulai mengalunkan tembang-tembang
macapat. Pelantunan tembang-tembang macapat tersebut berlangsung sampai acara
tirakatan selesai sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah selesai tirakatan, sebagian
tamu undangan akan pulang ke rumahnya masing-masing dan sebagian lagi tetap
berada di pendopo sambil menjaga senjata pusaka.
Keesokan harinya, kurang lebih pukul 07.30 WIB dimulailah
acara arak-arakan menuju kantor Bupati Wonogiri yang dipimpin oleh Camat
Selogiri. Acara arak-arakan ini diikuti oleh orang-orang yang tadi malam
mengikuti tirakatan ditambah dengan warga masyarakat yang berasal dari
Girimarto. Selama dalam perjalanan menuju kantor Bupati Wonogiri, arak-arakan
pembawaan senjata pusaka milik Mangkunegara I ini mendapat sambutan hangat dari
warga yang rumahnya dilewati oleh arak-arakan. Di pendopo Kabupaten Wonogiri,
rombongan yang berasal dari Selogiri dipersilakan oleh panitia setempat untuk
menuju ke halaman sebelah barat kantor bupati. Sementara rombongan dari
Girimarto ditempatkan di halaman sebelah timur. Kemudian, ketua rombongan
(Camat) akan melapor kepada Bupati. Setelah melapor, diadakan upacara serah
terima pusaka dari kerabat Mangkunegaran kepada Manggala Yuda untuk dikirabkan
lagi menuju Kodim Wonogiri. Saat rombongan memulai kirab menuju Kodim, berbagai
kesenian seperti: jathilan, reog, drum band dari salah satu sekolah di Wonogiri
turut mengiringinya. Dan, sama seperti ketika dikirabkan dari Kecamatan
Selogiri, kirab menuju ke Kodim juga disambut hangat oleh warga masyarakat yang
tempatnya dilewati.
Dalam kirab menuju Kodim ini tidak hanya senjata pusaka milik
Mangkunegara I saja yang dibawa, melainkan juga beberapa senjata lain seperti:
Semar Tinandu (juga pusaka milik Mangkunegara I yang disimpan di Girimulyo),
Kyai Mendung, Kyai Slamet, Kyai Singkir, dan Kyai Singo Barong (pusaka yang
disimpan di kantor bupati Wonogiri). Setelah sampai di Kodim seluruh
peserta upacara langsung membubarkan diri menuju ke beberapa kendaraan yang
akan mengangkat mereka menuju ke Waduk Gadjah Mungkur. Waktu yang diperlukan
dari Kodim Wonogiri ke Gadjah Mungkur sekitar 30 menit. Di Waduk Gadjah Mungkur
mereka kemudian berkumpul untuk mendengarkan sambutan dari panitia yang
dilanjutkan dengan upacara serah terima kembali pusaka kepada pihak
Mangkunegaran.
Selanjutnya, seluruh senjata pusaka itu akan diserahkan kepada
seorang abdi dalem Mangkunegaran yang telah berpengalaman dalam
menyelenggarkaan upacara jamasan, untuk segera memulai upacara jamasan atau
pemandian pusaka. Pemandian pusaka itu dilaksanakan di sebuah panggung yang
terletak di sebelah barat waduk dengan posisi agak tinggi agar dapat dilihat
oleh para peserta upacara. Sang abdi dalem memandikan satu persatu pusaka
secara cermat dan teliti. Pusaka yang lebih dahulu dijamasi adalah ketiga
pusaka milik Mangkunegara I di Selogiri, yaitu Kyai Koriwelang, Kyai Jaladara
dan Kyai Totok. Setelah semua pusaka milik dari Mangkunegara selesai dijamasi,
barulah kemudian pusaka-pusaka milik Kabupaten Wonogiri. Sisa air jamasan
digunakan untuk menjamasi pusaka-pusaka milik warga masyarakat. Tahap akhir penjamasan
pusaka ini, seluruh urutan dalam upacara jamasan pusaka Mangkunegaran. Pusaka
akan dikembalikan lagi di tempatnya asal dimana pusaka berada.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar