1. Konsep Budaya Jawa
Beberapa konsep budaya Jawa seperti :
- Religi Jawa;
Animisme, dinamisme, sinkritisme dan agama Jawa. Pemujaan pada roh
disebut animisme dan pemujaan pada kekuatan benda-benda disebut
dinamisme. Ritual dan sesaji adalah bentuk penyelarasan dengan
lingkungan metafisik, agar kekuatan adikodrati itu selaras. Representasi
pemujaan roh dapat dilihat dari tradisi budaya selamatan orang
meninggal. Ada penyatuan ajaran antara animisme, dan dinamisme yang
berbaur dengan agama Hindu, Budha bahkan Kristen dan Islam sehingga
terjadilah sinkretisme. Wujud sinkretisme yang paling menonjol adalah
prilaku mistik kejawen yang terlihat dalam penganut Islam abangan
(kejawen) yang lebih banyak diwarnai sinkretisme, yang bertolak belakang
dengan Islam putih yaitu Islam yang sesuai dengan ajaran asli Arab yang
biasanya diajarkan di pondok pesantren.
- Slametan (selamatan)
Slametan adalah sebuah ritual yang dimaksudkan untuk memohon
keselamatan untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan
makhluk halus. Dalam tradisi Jawa muncul berbagai macam selamatan,
seperti :
~ Selamatan sebelum lahir (dalam kandungan).
~ Selamatan kelahiran seperti, neloni (tiga bulan peringatan bayi), mitoni (tujuh bulanan).
~ Selamatan perkawinan seperti : midodareni (menjelang perkawinan).
~ Upacara kematian seperti : surtanah (baru meninggal), nelung
duia, pitung duia, patang puluh, nyatus, mendak pisan (1 tahun), mendak
pindo (dua tahun) dan nyewu (seribu hari).
- Primbon, suluk, dan wirid.
Primbon memuat petung (perhitungan), mengetahui watak manusia, pindah
rumah atau persyaratan hajat lainnya. Hal ini dapat dijumpai dalam
karya sastra Jawa seperti : Serat Chentini, Serat Cibolek, Serat Wirid,
Hidayat Jati, Babat Tanah Jawa dan sebagainya.
- Tata Krama
adalah : adab, sopan santun Jawa dalam berbahasa, bersikap dan
bertingkah laku yang sangat dijunjung tinggi dan menjadi ciri budaya
Jawa. Hal-hal yang berkaitan dengan sub : religi, slametan dan primbon
mengarah pada sisi vertikal budaya Jawa yang berkaitan dengan orientasi
ketuhanan sedangkan tata krama berkaitan dengan sisi horisontal
berkaitan dengan hubungan antara manusia.
1. Petung
Petung atau perhitungan menduduki tempat yang sangat strategis dan urgen dalam budaya Jawa.
Mis : - hari kelahiran dihitung : minggu = 5, senin = 4, selasa = 3, rabu = 7, kamis = 8, jumat = 6, sabtu = 9.
- Pasaran dihitung : paing = 9, pon = 7, wage = 4, kliwon = 8, legi = 5.
2. Makanan
Ciri makanan khas Jawa : rawon, gudeg, lontong balap, urap-urap, gado-gado, sop buntut dan sebagainya.
3. Falsafah hidup
Falsafah hidup orang Jawa dapat menjadi ciri penanda khas tradisi budaya Jawa.
Mis :
~ Ajining diri soko lathi artinya : kehormatan diri berasal dari tutur kata yang baik (lathi).
~ Ajining awak soko tumindak artinya : dari perbuatan baik yang kita lakukan (tumindak).
~ Ajining sariro soko busono artinya : dari pakaian yang kita sandang (busono).
~ Ngundhuh wohing pakarti (menuai buah dari yang ditanam = hukum sebab akibat).
~ Alon-alon waton kelakon (biar lambat asal selamat).
4. Produk Budaya
Berbagai produk budaya seperti : keris, wayang, rumah, pakaian dan
peralatan lainnya dapat menjadi ciri penanda yang ada pada budaya Jawa.
Dikalangan Jawa tradisional, sebagai lelaki sejati jika ia sudah
memiliki 5 unsur simbolik seperti :
~ Curiga (keris)
~ Turangga (motor atau mobil)
~ Wisma (rumah atau tempat tinggal)
~ Wanita (istri)
~ Kukila (burung = keindahan)
Kegiatan Kejawen
Dalam konteks mitologi kejawen, ada beberapa kegiatan ritual yang sangat dipegang sebagai kegiatan sakral, antara lain :
1. Satu suro/1 muharram
Satu suro merupakan hari dan bulan keramat dan sakral dalam pandangan Kejawen, sebagaimana seremoni atau perayaan suran. Menurut sejarah jawa dimulai pada tanggal 1 suro 1925 yang terdapat makna didalamnya, yaitu hari yang 7 jumlahnya (saptawara), berangkapan pasaran yang berjumlah 5 (pancawara), mangsa (pranatamangsa) yang beerjumlah 12 wuku yang berjumlah 30, peringkelan yang berjumlah 6 (sadwera), tahun yang berjumlah 8, dan windu yang berjumlah 4. Perangkapan hitugan atau pitungan ini merupakan warisan ngelmu dalam kosmologi jawa yang selalu dikaitkan dengan berbagai kegiatan kehidupan dalam wujud laku yang bernilai keprihatinan.
Ritual ini selalu diselenggarakan dikeraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran. Masyarakat berjalan berbondong-bondong mengelilingi pusaka keraton yang dianggap ampuh dan mampu menolak malapetaka. Di daerah gunung Serandil Cilacap, yang terletak ditepi laut selatan, dibangun gedung palereman dan pamujaan, begitu pula di padepokan Jambe Pitu gunung Serandil kebanyakan masyarkat mempercayai ramalan seorang medium yang katanya kerasukan Ki Lengkung Kusumo (petruk) tentng peristiwa keadaan tahun yang akan datang.
Kegiatan ritual masyarakat Kejawen pada umumnya menelenggarakan selametan suro dengan acara sajian bubur dengan lauk pauk tertentu atau jenang manggul disertai dengan bunga setaman dan kepulam kemenyan, kegiatan mencuci pusaka wesi aji yang disebut siraman (kepercayaan sebagian masyarakat, mereka datang dan mengambil berkah lewat cucian air pusaka dengan cara mencuci muka dan bahkan ada yang meminumnya), dan kegiatan berpuasa Suro yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai dengan 10 atau 9 dan 10 suro.
2. Nyadran
Nyadran berarti melaksanakan upacara “sadran” atau sadranan. Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (jawa) atau sya’ban (Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai dengan menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan, antara lain :
a) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa.
b) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan.
c) Beriarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih).
3. Ritual selamatan lingkaran hidup seperti hamil 7 bulan, kelahiran, kematian, dan lain-lainnya. Kebanyakan masyarakat Jawa melaksanakan upacara peringatan 7 bulan kehamilan (mitoni), sesuai tradisi yang ada, yaitu yamng hamil menual rujak dengan batu kecil (kerikil), disamping itu dengan bancaan mengundang anak-anak kecil untuk makan ambeng pada nampan. Selain itu uga mengundang tetangga untuk acara do’a bersama dengan upacara tahlilan.
4. Ritual selamatan berkaitan dengan bersih (rikat) desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pad abulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do’a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen, ruwatan merupakan acara pembebasan anak atau orang yang kelahirannya di anggap tidak menguntungkan atau ada marabahaya dari Batharakala.
5. Rituial selamatan berkaitan dengan tanah pertanian, baik pemggarapan atau saat panen.
6. Ritual berkaitan dengan menolak marabahaya, seperti ngruwat, sedekah bumi dan lain-lainnya.
Laku : Sembahyang dan Olah Rasa
Laku, sembahyang dan olah rasa merupakan kegiatan peribadatan kebatina yang penting dalam perjalanan hidup dan merupakan cara untuk mencapai puncak peningkatan kekuatan spiritualitas Kejawen, yaitu menuu manunggaling kawulo gusti. Yang ditempuh dalam laku ini adalah kesatuan jiwa dan raga manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa manusia merupakan rasa yang dapat merasakan kedekatan dan bahkan menyatu dengan gusti Yang Maha Kuasa. Rasa adalah tolok ukur pragmatis dari segala mistik orang jawa atau Kejawen. Rasa yang membawa keadaan dirinya menjadi puas, tenang, tentram batin (tentrem ing manah), dan ketiadaan ketegangan.
1. Satu suro/1 muharram
Satu suro merupakan hari dan bulan keramat dan sakral dalam pandangan Kejawen, sebagaimana seremoni atau perayaan suran. Menurut sejarah jawa dimulai pada tanggal 1 suro 1925 yang terdapat makna didalamnya, yaitu hari yang 7 jumlahnya (saptawara), berangkapan pasaran yang berjumlah 5 (pancawara), mangsa (pranatamangsa) yang beerjumlah 12 wuku yang berjumlah 30, peringkelan yang berjumlah 6 (sadwera), tahun yang berjumlah 8, dan windu yang berjumlah 4. Perangkapan hitugan atau pitungan ini merupakan warisan ngelmu dalam kosmologi jawa yang selalu dikaitkan dengan berbagai kegiatan kehidupan dalam wujud laku yang bernilai keprihatinan.
Ritual ini selalu diselenggarakan dikeraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran. Masyarakat berjalan berbondong-bondong mengelilingi pusaka keraton yang dianggap ampuh dan mampu menolak malapetaka. Di daerah gunung Serandil Cilacap, yang terletak ditepi laut selatan, dibangun gedung palereman dan pamujaan, begitu pula di padepokan Jambe Pitu gunung Serandil kebanyakan masyarkat mempercayai ramalan seorang medium yang katanya kerasukan Ki Lengkung Kusumo (petruk) tentng peristiwa keadaan tahun yang akan datang.
Kegiatan ritual masyarakat Kejawen pada umumnya menelenggarakan selametan suro dengan acara sajian bubur dengan lauk pauk tertentu atau jenang manggul disertai dengan bunga setaman dan kepulam kemenyan, kegiatan mencuci pusaka wesi aji yang disebut siraman (kepercayaan sebagian masyarakat, mereka datang dan mengambil berkah lewat cucian air pusaka dengan cara mencuci muka dan bahkan ada yang meminumnya), dan kegiatan berpuasa Suro yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai dengan 10 atau 9 dan 10 suro.
2. Nyadran
Nyadran berarti melaksanakan upacara “sadran” atau sadranan. Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (jawa) atau sya’ban (Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai dengan menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan, antara lain :
a) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa.
b) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan.
c) Beriarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih).
3. Ritual selamatan lingkaran hidup seperti hamil 7 bulan, kelahiran, kematian, dan lain-lainnya. Kebanyakan masyarakat Jawa melaksanakan upacara peringatan 7 bulan kehamilan (mitoni), sesuai tradisi yang ada, yaitu yamng hamil menual rujak dengan batu kecil (kerikil), disamping itu dengan bancaan mengundang anak-anak kecil untuk makan ambeng pada nampan. Selain itu uga mengundang tetangga untuk acara do’a bersama dengan upacara tahlilan.
4. Ritual selamatan berkaitan dengan bersih (rikat) desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pad abulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do’a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen, ruwatan merupakan acara pembebasan anak atau orang yang kelahirannya di anggap tidak menguntungkan atau ada marabahaya dari Batharakala.
5. Rituial selamatan berkaitan dengan tanah pertanian, baik pemggarapan atau saat panen.
6. Ritual berkaitan dengan menolak marabahaya, seperti ngruwat, sedekah bumi dan lain-lainnya.
Laku : Sembahyang dan Olah Rasa
Laku, sembahyang dan olah rasa merupakan kegiatan peribadatan kebatina yang penting dalam perjalanan hidup dan merupakan cara untuk mencapai puncak peningkatan kekuatan spiritualitas Kejawen, yaitu menuu manunggaling kawulo gusti. Yang ditempuh dalam laku ini adalah kesatuan jiwa dan raga manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa manusia merupakan rasa yang dapat merasakan kedekatan dan bahkan menyatu dengan gusti Yang Maha Kuasa. Rasa adalah tolok ukur pragmatis dari segala mistik orang jawa atau Kejawen. Rasa yang membawa keadaan dirinya menjadi puas, tenang, tentram batin (tentrem ing manah), dan ketiadaan ketegangan.
Ngelmu dalam terminologi kejawen menggunakan kata pengawikan jawi,
hakekatmya, bukan sekedar pengetahuan, melainkan mengandung
kebijaksanaan. Olah pikir dan asah
budi para pemikir Jawa senantiasa memakai slogan yang didambakannya
aitu mamayu hayuning saliro, mamayu hauning bangsa, mamayu hayuning
bawana (memelihara kesejahteran diri, memelihara kesejahteraan bangsa,
memelihara kesejahteraan dunia). Konsep ngelmu tersebut adalah sangat
jelas dipengaruhi oloeh konsep-konsep islam, yaitu mulai dari persoalan
kosmologi sampai dengan adab suami isteri, sebagaimana dalam buku-buku Kejawen Betal jemur atau adam ma’na yyang dipengaruhi oleh kitab mujarobat.
Disamping kegiatan laku dan olah rasa, sembahyang juga sangat urgen dalam pandangan Kejawen meskipun kata sembahyang dalam terminologi Jawa kuno tidak ada; yang ada adalah kata sembah dan hyang. Sembah berarti menghormati, tunduk; sedangkan hyang berarti dewa atau dewata. Dengan demikian., kesatuan istilah tersebut menjadi sembahyang yang berarti penyembahan kepada dewa atau Tuhan menurut aliran kepercayan Pangestu, konsep sembahyang atau ritual ada 2 cara, yaitu ritual kelompok (bawa raos) dan ritual perorangan (panembah dan pangesti). Tata cara ritual bawa raos meliputi : pangesti pembuka (mohon tuntunan), bawa raos (ceramah), pengungkapan pengalaman –pengalaman dalam penyiswan, pangesti penutup (mohon kesejahteraan), lagu Dandang Gula (eling-eling). Ritual perorangan panembah adalah semacam sembahyang wajib seperti shalat dalam agama islam. Pelaksanaan waktunya sesuai dengan jenjang kesiswaannya, sedangkan pangestia adalah do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dilaksanakan kapan saja.
Disamping kegiatan laku dan olah rasa, sembahyang juga sangat urgen dalam pandangan Kejawen meskipun kata sembahyang dalam terminologi Jawa kuno tidak ada; yang ada adalah kata sembah dan hyang. Sembah berarti menghormati, tunduk; sedangkan hyang berarti dewa atau dewata. Dengan demikian., kesatuan istilah tersebut menjadi sembahyang yang berarti penyembahan kepada dewa atau Tuhan menurut aliran kepercayan Pangestu, konsep sembahyang atau ritual ada 2 cara, yaitu ritual kelompok (bawa raos) dan ritual perorangan (panembah dan pangesti). Tata cara ritual bawa raos meliputi : pangesti pembuka (mohon tuntunan), bawa raos (ceramah), pengungkapan pengalaman –pengalaman dalam penyiswan, pangesti penutup (mohon kesejahteraan), lagu Dandang Gula (eling-eling). Ritual perorangan panembah adalah semacam sembahyang wajib seperti shalat dalam agama islam. Pelaksanaan waktunya sesuai dengan jenjang kesiswaannya, sedangkan pangestia adalah do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dilaksanakan kapan saja.
Kegiatan laku dan sembahyang dalam pandangan kebatinan atau Kejawen
merupakan cara atau jalan untuk memperdalam olah rasa dalam pencapaian
kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Gusti Allah, atau dengan kata lain
menuju kesatuan manunggaling kawula gusti.
Rumusan Rekayasa Sosio Kultural dalam Dakwah
Dari uraian diatas, sistem kepercayan yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa pada umumnya adalah Hindu dan Budha sebagai Mainstream keagamaannya. Selanjutnya terjadilah sinkritisme ketika kerajaan-kerajaan atau bahkan di kedua keraton baik Yogyakarta, Surakarta, maupun Mangkunegara yang notabenenya merupakan pusat Kejawen beragama Hindu dan Budha, kemudian dalam proses perkembangan pergantian kekuasaan dikeraton pada saat yang bersamaan teradilah elaborasi Islam kedalam keluarga istana, hanya saa Islamisasi dilakukan secara evolusioner dan tanpa terjadi ketegangan ketika pertemuan antara kedua simbol dan ritus tersebut. Simbol-simbol dan ritus-ritus yang esensinya adalah laku, sembahyang dan olah rasa merupakan dasar atau inti Kejawen dalam pencapaian kesempurnaan hidup tertinggi. Berbagai ritus yang telah mendarah daging di masyarakat kejawen hingga dewasa ini masih sangat kental dan banyak pengikutnya khususnya di pulau Jawa.
Rumusan Rekayasa Sosio Kultural dalam Dakwah
Dari uraian diatas, sistem kepercayan yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa pada umumnya adalah Hindu dan Budha sebagai Mainstream keagamaannya. Selanjutnya terjadilah sinkritisme ketika kerajaan-kerajaan atau bahkan di kedua keraton baik Yogyakarta, Surakarta, maupun Mangkunegara yang notabenenya merupakan pusat Kejawen beragama Hindu dan Budha, kemudian dalam proses perkembangan pergantian kekuasaan dikeraton pada saat yang bersamaan teradilah elaborasi Islam kedalam keluarga istana, hanya saa Islamisasi dilakukan secara evolusioner dan tanpa terjadi ketegangan ketika pertemuan antara kedua simbol dan ritus tersebut. Simbol-simbol dan ritus-ritus yang esensinya adalah laku, sembahyang dan olah rasa merupakan dasar atau inti Kejawen dalam pencapaian kesempurnaan hidup tertinggi. Berbagai ritus yang telah mendarah daging di masyarakat kejawen hingga dewasa ini masih sangat kental dan banyak pengikutnya khususnya di pulau Jawa.
Benda Budaya Jawa
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara
bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari
senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang
melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya
memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah Kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
2. Konsep Budaya Bali
1. Darma
Yaitu : suatu jalan yang halus dan
sejuk yang dapat melindungi dan menjaga orang yang mengikuti dan
menjauhkan bencana sehingga menjadi orang yang gembira, tentram dan bahagia.
2. Tri Hita Karana :
Konsep keselarasan hubungan yang
mendatangkan kebahagiaan. Keselarasan hubungan tersebut meliputi :
~
Keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan.
~
Keselarasan hubungan manusia dengan sesama manusia.
~
Keselarasan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
3. Rwa Bhineda
Konsep dualistik yang
mengekspresikan dua katagori yang berlawanan dalam hidup (positif dan negatif,
baik dan buruk). Prinsip Rwa Bhineda sama dengan prinsip Yin-Yang dari budaya
Cina.
4. Karmaphala
Satu dari lima sistem kepercayaan
agama Hindu. (Panca Çarada) yaitu :
~
Percaya adanya Tuhan.
~
Percaya adanya atman (roh).
~
Percaya adanya Punarbawa (reinkarnasi).
~
Percaya adanya roh dan leluhur.
~
Percaya adanya karmaphala ó ini yang menjadi konsep budaya masyarakat Bali.
Kegiatan Budaya Bali
Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya
oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu
Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu
upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur
(orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda/Pinandita
mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu,
Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang
yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya.
Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah
(saat ini sudah ada Ngaben massal yang biaya lebih irit).
Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena
di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah
meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.
Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya
ditentukan oleh Pedanda/Pinandita yang akan memimpin upacara. Beberapa hari
sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan
membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas
warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang
akan dilaksanakan Ngaben. Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta
masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan
dibersihkan/dimandikan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan
keluarga. “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam
masyarakat. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang
yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan
memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang
diupacarai memperoleh tempat yang baik.
Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung
beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”,
“kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade”
terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah
menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3
kali. Sesampainya di kuburan, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan
mayat di “Lembu” yang telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya
dan doa mantra dari Ida Pedanda/Pinandita, kemudian “Lembu” dibakar sampai
menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci. Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat
suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali
sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang
tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan
kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan
reinkarnasi dari orang tuanya.
Benda Budaya Bali
Di Bali, masyarakat Hindu sangat percaya bahwa barong dan rangda adalah sebuah pralingga yang beraspek religius sehingga secara simbolis
barong dan rangda diagungkan dan disucikan. Selain
yang disucikan ada juga kesenian barong dan rangda yang khusus
dipertunjukkan untuk para wisatawan. Pada mulanya, bahan bahan yang dipergunakan untuk membuat
barong dan juga rangda sangat sederhana. Misalnya untuk membuat rambut
dipergunakan daun pisang yang sudah kering atau lebih dikenal dengan
sebutan keraras.
Secara umum barong dan rangda terbuat dari bahan
bahan kayu, kulit dan juga rambu.Pembuatan barong dan rangda sehingga
menjadi benda sacral sangat ditentukan oleh penentuan hari yang
baik. Rambut yang umum digunakan sejak dulu adalah berasal dari bulu
burung gagak untuk mendapatkan warna hitam, bulu kokokan untuk
mendapatkan warna putih dan praksok untuk mendapatkan warna putih. Tumbuhan
praksok banyak tumbuh di rumah rumah penduduk di banjar Puaya. Untuk
mendapatkan serat yang lebih putih dan halus daun praksok biasanya akan
direndam terlebih dahulu. Kurang lebih duapuluh sampai tigapuluh hari
perendaman, daun praksok akan dijemur sampai kandungan airnya hilang. Setelah
kering, serat praksok ini akan diikat memanjang, untuk selanjutnya
dirangkai sebagai rambut barong. Pada bagian tertentu dari baron,
seperti misalnya jenggot dan juga pinggang barong biasanya menggunakan
rambut manusia untuk menghiasinya.
Diyakini bahwa kekuatan terbesar dari barong, selain pada bagian mata, juga terdapat pada bagian jenggotnya. Selain menyiapkan rambut barong, bahan bahan yang terbuat dari kulit juga disiapkan terlebih dahulu. Biasanya bahan kulit yang digunakan adalah kulit sapi. Lembaran lembaran kulit akan dibagi sesuai dengan ukuran yang diperlukan.
Pada barong ada beberapa bagian yang terbuat dari bahan kulit seperti badong, sekartaji, gelungan, kampid dara, cotekan dan juga ekor. Setelah disket terlebih dahulu, kulit selanjutnya diukir untuk mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan.
Bahan lainnya yang sangat perlu dipersiapkan adalah tapel untuk barong dan juga rangda. Menentukan jenis kayu yang akan digunakan untuk pembuatan tapel barong dan rangda sangatlah penting. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu yang diyakini mempunyai kekuatan magis seperti kayu kapuh atau rangdu dan juga kayu pule. Memahat tapel tidak saja memerlukan ketrampilan tangan, tapi lebih dari itu harus ada siatu penjiwaan yang total sehingga menghasilkan tapel yang memiliki karakter dan taksu. Pemberian warna pada sebuah tapel barong dan rangda merupakan hal yang betul betul diperhatikan. Dengan warna yang baik serta cocok akan memberikan kesan hidup berwibawa, serta agung pada barong dan juga rangda.
Diyakini bahwa kekuatan terbesar dari barong, selain pada bagian mata, juga terdapat pada bagian jenggotnya. Selain menyiapkan rambut barong, bahan bahan yang terbuat dari kulit juga disiapkan terlebih dahulu. Biasanya bahan kulit yang digunakan adalah kulit sapi. Lembaran lembaran kulit akan dibagi sesuai dengan ukuran yang diperlukan.
Pada barong ada beberapa bagian yang terbuat dari bahan kulit seperti badong, sekartaji, gelungan, kampid dara, cotekan dan juga ekor. Setelah disket terlebih dahulu, kulit selanjutnya diukir untuk mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan.
Bahan lainnya yang sangat perlu dipersiapkan adalah tapel untuk barong dan juga rangda. Menentukan jenis kayu yang akan digunakan untuk pembuatan tapel barong dan rangda sangatlah penting. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu yang diyakini mempunyai kekuatan magis seperti kayu kapuh atau rangdu dan juga kayu pule. Memahat tapel tidak saja memerlukan ketrampilan tangan, tapi lebih dari itu harus ada siatu penjiwaan yang total sehingga menghasilkan tapel yang memiliki karakter dan taksu. Pemberian warna pada sebuah tapel barong dan rangda merupakan hal yang betul betul diperhatikan. Dengan warna yang baik serta cocok akan memberikan kesan hidup berwibawa, serta agung pada barong dan juga rangda.
Setelah
bahan bahan seperti rambut busana serta tapel selesai dikerjakan proses
dilanjutkan dengan memasang bagian bagian pada kerangka yang sudah
disiapkan. Dengan menentukan hari baik terlebih dahulu, satu
persatu bagian dari barong tersebut akan dipasang oleh beberapa orang
sangging. Selain membuat barong dan rangda, masyarakat di banjar Puaya
juga memiliki ketrampilan untuk membuat berbagai macam jenis tapel. Masyarakat
banjar Puaya juga memliki ketrampilan untuk membuat wayang kulit dan
juga kerajinan pis bolong. Mereka mewarisi ketrampilan ini dari para
pendahulu mereka secara turun temurun. Banjar Puaya sebagai banjar
pengrajin, setidaknya menambah deretan desa pengrajin di kabupaten
gianyar.
3. Konsep Budaya Kalimantan
Suku Bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punanmandau,
sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata
pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak
rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu
dan pada Dayak lain sering disebut banua / benua. Di
kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak
dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang
berbeda. Suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan,
sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara
Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari
Yunnan).
Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405
sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak
memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi
faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke
dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah
panjang, hasil budaya material seperti tembikar.
Manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
- Dayak Mongoloid
- Malayunoid
- Autrolo-Melanosoid
- Dayak Heteronoid
Kegiatan Budaya Kalimantan
Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak
diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan
sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- Penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- Penguburan di dalam peti batu (dolmen).
- Penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
- Wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak.
- Wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
Berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
- Lubekng (tempat lungun).
- Garai (tempat lungun, selokng).
- Gur (lungun).
- Tempelaaq dan Kererekng.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- Penguburan tahap pertama (primer).
- Penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
- Parepm Api (Dayak Benuaq).
- Kenyauw (Dayak Benuaq).
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau,
Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang
merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan
dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang
atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- Dikubur dalam tanah.
- Diletakkan di pohon besar.
- Dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- Marabia.
- Mambatur (Dayak Maanyan).
- Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq).
Benda Budaya Kalimantan
Salah satu kekayaan budaya itu adalah kerajinan getah kayu nyatu yang
berasal dari pohon kayu nyatu. Pohon nyatu sendiri merupakan tanaman
eksotis Kalimantan Tengah yang hanya tumbuh di dua wilayah tertentu di
provinsi tersebut, yaitu di Kabupaten Pangkalan Bun dan di Kecamatan
Bukit Tangkiling, Kota Palangkaraya.
Getah kayu nyatu dimanfaatkan oleh masyarakat adat suku Dayak di wilayah tersebut sebagai bahan baku untuk pembuatan kerajinan khas suku Dayak, seperti berbagai bentuk perayu, patung masyarakat adat suku Dayak dan berbagai bentuk kerajinan lainnya.
Getah kayu nyatu dimanfaatkan oleh masyarakat adat suku Dayak di wilayah tersebut sebagai bahan baku untuk pembuatan kerajinan khas suku Dayak, seperti berbagai bentuk perayu, patung masyarakat adat suku Dayak dan berbagai bentuk kerajinan lainnya.
Kini kerajinan getah nyatu telah menjadi salah satu ciri khas
provinsi Kalimantan Tengah yang dikembangkan oleh masyarakat dengan
dukungan Pemda setempat menjadi barang souvenir yang sangat unik dan
menarik dari wilayah tersebut. Sejumlah kelompok usaha masyarakat adat
suku Dayak setempat kini mengusahakan kerajinan kayu nyatu tersebut dan
telah berkembang menjadi salah satu sektor usaha yang cukup menjanjikan
bagi perkembangan ekonomi daerah.
Dalam proses untuk mendapatkan getah, kata Katutu, para perajin getah
nyatu biasanya menebang pohon nyatu. Kemudian batang pohon nyatu di
kuliti untuk diambil bagian kulitnya. Selanjutnya, kulit kayu nyatu itu
direbus di dalam air mendidih yang sebelumnya telah dicampur dengan
minyak tanah. Proses perebusan tersebut dilakukan untuk memisahkan
(mengekstrak) getah dari kulit kayu nyatu. Dalam keadaan air rebusan yang masih mendidih, getah pohon nyatu yang
sudah terpisah dari kulit pohon itu kemudian diambil untuk selanjutnya
direbus kembali untuk memisahkan getah dari sisa-sisa minyak tanah.
Getah pohon nyatu yang sudah terpisah dari minyak tanah itu kemudian
dipilah-pilah untuk proses pewarnaan. Untuk memberikan warna warni pada
getah, Katutu dan para perajin getah nyatu di Kalteng biasanya
menggunakan bahan pewarna alami yang diambil dari tanaman asli di
Kalteng. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara merebus getah nyatu itu
bersama-sama dengan bahan tanaman sumber pewarnaan alam. Biasanya
pewarna alami yang dipakai terdiri dari empat jenis warna, yaitu hitam,
kuning, merah dan hijau.
Getah nyatu yang sudah diberi bahan pewarna alam itu kemudian diambil
dan dalam keadaan masih panas (dalam rebusan air mendidih) langsung
dibentuk dan dianyam menjadi berbagai bentuk kerajinan getah nyatu.
Proses pembentukan getah nyatu harus dilakukan dalam keadaan masih panas
karena dalam kondisi tersebut getah nyatu masih dalam keadaan meleleh
sehingga mudah dibentuk. Sedangkan kalau sudah dingin, getah nyatu sulit
dibentuk karena sudah berada dalam keadaan beku.
Kerajinan anyaman getah nyatu umumnya mengambil
bentuk perahu tradisional Dayak yang dilengkapi dengan awak dan berbagai
asesorisnya. Bentuk perahu tersebut menggambarkan cerita tersendiri
yang diambil dari cerita asli masyarakat suku Dayak di Kalteng.
Sebagaimana diketahui di Kalteng sendiri terdapat sejumlah suku Dayak,
diantara-nya Dayak Manyan, Kapuas, Bakumpai, Katingan, Kahayan dan Siak
atau Ngaju. Bentuk perahu yang biasanya dipergunakan dalam kerajinan anyaman
getah nyatu umumnya dicirikan dengan bentuk kepala naga dan kepala
burung antang (elang) yang terletak di bagian depan perahu. Perahu yang
mengambil bentuk kepala naga biasanya dipakai untuk menunjukkan perahu
perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah (memindahkan kepala leluhur
dalam agama Hindu Kaharingan), namun bentuk kepala naga pada perahu
perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah sedikit berbeda. Sementara
perahu yang mengambil bentuk kepala elang biasanya menggambarkan perahu
berburu.
Perahu perang berkepala naga juga memiliki posisi kepala naga yang
berbeda. Posisi kepala naga yang mendongak ke atas menggambarkan bahwa
perahu tersebut telah berhasil memenangkan peperangan. Posisi kepala
naga lurus menggambarkan perahu sedang menuju ke arah peperangan.
Sedangkan posisi kepala naga menunduk ke bawah menggambarkan perahu
sedang dalam perang.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar