Minggu, 23 Oktober 2011

TULISAN

1.    Konsep Budaya Jawa

Beberapa konsep budaya Jawa seperti :
  1. Religi Jawa;
Animisme, dinamisme, sinkritisme dan agama Jawa. Pemujaan pada roh disebut animisme dan pemujaan pada kekuatan benda-benda disebut dinamisme. Ritual dan sesaji adalah bentuk penyelarasan dengan lingkungan metafisik, agar kekuatan adikodrati itu selaras. Representasi pemujaan roh dapat dilihat dari tradisi budaya selamatan orang meninggal. Ada penyatuan ajaran antara animisme, dan dinamisme yang berbaur dengan agama Hindu, Budha bahkan Kristen dan Islam sehingga terjadilah sinkretisme. Wujud sinkretisme yang paling menonjol adalah prilaku mistik kejawen yang terlihat dalam penganut Islam abangan (kejawen) yang lebih banyak diwarnai sinkretisme, yang bertolak belakang dengan Islam putih yaitu Islam yang sesuai dengan ajaran asli Arab yang biasanya diajarkan di pondok pesantren.
  1. Slametan (selamatan)
Slametan adalah sebuah ritual yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan makhluk halus. Dalam tradisi Jawa muncul berbagai macam selamatan, seperti :
~       Selamatan sebelum lahir (dalam kandungan).
~       Selamatan kelahiran seperti, neloni (tiga bulan peringatan bayi), mitoni (tujuh bulanan).
~       Selamatan perkawinan seperti : midodareni (menjelang perkawinan).
~       Upacara kematian seperti : surtanah (baru meninggal), nelung duia, pitung duia, patang puluh, nyatus, mendak pisan (1 tahun), mendak pindo (dua tahun) dan nyewu (seribu hari).
  1. Primbon, suluk, dan wirid.
Primbon memuat petung (perhitungan), mengetahui watak manusia, pindah rumah atau persyaratan hajat lainnya. Hal ini dapat dijumpai dalam karya sastra Jawa seperti : Serat Chentini, Serat Cibolek, Serat Wirid, Hidayat Jati, Babat Tanah Jawa dan sebagainya.
  1. Tata Krama
adalah : adab, sopan santun Jawa dalam berbahasa, bersikap dan bertingkah laku yang sangat dijunjung tinggi dan menjadi ciri budaya Jawa. Hal-hal yang berkaitan dengan sub : religi, slametan dan primbon mengarah pada sisi vertikal budaya Jawa yang berkaitan dengan orientasi ketuhanan sedangkan tata krama berkaitan dengan sisi horisontal berkaitan dengan hubungan antara manusia. 
1.  Petung
Petung atau perhitungan menduduki tempat yang sangat strategis dan urgen dalam budaya Jawa.
Mis :   -   hari kelahiran dihitung : minggu = 5, senin = 4, selasa = 3, rabu = 7, kamis = 8, jumat = 6, sabtu = 9.
-   Pasaran dihitung : paing = 9, pon = 7, wage = 4, kliwon = 8,       legi = 5.

2.  Makanan
Ciri makanan khas Jawa : rawon, gudeg, lontong balap, urap-urap, gado-gado, sop buntut dan sebagainya. 

3.  Falsafah hidup

Falsafah hidup orang Jawa dapat menjadi ciri penanda khas tradisi budaya Jawa.
Mis :   
~  Ajining diri soko lathi artinya : kehormatan diri berasal dari tutur kata yang baik (lathi).
~  Ajining awak soko tumindak artinya : dari perbuatan baik yang kita lakukan (tumindak).
~  Ajining sariro soko busono artinya : dari pakaian yang kita sandang (busono).
~  Ngundhuh wohing pakarti (menuai buah dari yang ditanam = hukum sebab akibat).
~  Alon-alon waton kelakon (biar lambat asal selamat). 

4.  Produk Budaya

Berbagai produk budaya seperti : keris, wayang, rumah, pakaian dan peralatan lainnya dapat menjadi ciri penanda yang ada pada budaya Jawa. Dikalangan Jawa tradisional, sebagai lelaki sejati jika ia sudah memiliki 5 unsur simbolik seperti :
~       Curiga (keris)
~       Turangga (motor atau mobil)
~       Wisma (rumah atau tempat tinggal)
~       Wanita (istri)
~       Kukila (burung = keindahan)

Kegiatan Kejawen
Dalam konteks mitologi kejawen, ada beberapa kegiatan ritual yang sangat dipegang sebagai kegiatan sakral, antara lain :

1. Satu suro/1 muharram

Satu suro merupakan hari dan bulan keramat dan sakral dalam pandangan Kejawen, sebagaimana seremoni atau perayaan suran. Menurut sejarah jawa dimulai pada tanggal 1 suro 1925 yang terdapat makna didalamnya, yaitu hari yang 7 jumlahnya (saptawara), berangkapan pasaran yang berjumlah 5 (pancawara), mangsa (pranatamangsa) yang beerjumlah 12 wuku yang berjumlah 30, peringkelan yang berjumlah 6 (sadwera), tahun yang berjumlah 8, dan windu yang berjumlah 4. Perangkapan hitugan atau pitungan ini merupakan warisan ngelmu dalam kosmologi jawa yang selalu dikaitkan dengan berbagai kegiatan kehidupan dalam wujud laku yang bernilai keprihatinan.

Ritual ini selalu diselenggarakan dikeraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran. Masyarakat berjalan berbondong-bondong mengelilingi pusaka keraton yang dianggap ampuh dan mampu menolak malapetaka. Di daerah gunung Serandil Cilacap, yang terletak ditepi laut selatan, dibangun gedung palereman dan pamujaan, begitu pula di padepokan Jambe Pitu gunung Serandil kebanyakan masyarkat mempercayai ramalan seorang medium yang katanya kerasukan Ki Lengkung Kusumo (petruk) tentng peristiwa keadaan tahun yang akan datang.

Kegiatan ritual masyarakat Kejawen pada umumnya menelenggarakan selametan suro dengan acara sajian bubur dengan lauk pauk tertentu atau jenang manggul disertai dengan bunga setaman dan kepulam kemenyan, kegiatan mencuci pusaka wesi aji yang disebut siraman (kepercayaan sebagian masyarakat, mereka datang dan mengambil berkah lewat cucian air pusaka dengan cara mencuci muka dan bahkan ada yang meminumnya), dan kegiatan berpuasa Suro yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai dengan 10 atau 9 dan 10 suro.

2. Nyadran

Nyadran berarti melaksanakan upacara “sadran” atau sadranan. Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (jawa) atau sya’ban (Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai dengan menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan, antara lain :

a) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa.

b) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan.

c) Beriarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih).

3. Ritual selamatan lingkaran hidup seperti hamil 7 bulan, kelahiran, kematian, dan lain-lainnya. Kebanyakan masyarakat Jawa melaksanakan upacara peringatan 7 bulan kehamilan (mitoni), sesuai tradisi yang ada, yaitu yamng hamil menual rujak dengan batu kecil (kerikil), disamping itu dengan bancaan mengundang anak-anak kecil untuk makan ambeng pada nampan. Selain itu uga mengundang tetangga untuk acara do’a bersama dengan upacara tahlilan.

4. Ritual selamatan berkaitan dengan bersih (rikat) desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pad abulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do’a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen, ruwatan merupakan acara pembebasan anak atau orang yang kelahirannya di anggap tidak menguntungkan atau ada marabahaya dari Batharakala.

5. Rituial selamatan berkaitan dengan tanah pertanian, baik pemggarapan atau saat panen.

6. Ritual berkaitan dengan menolak marabahaya, seperti ngruwat, sedekah bumi dan lain-lainnya.

Laku : Sembahyang dan Olah Rasa

      Laku, sembahyang dan olah rasa merupakan kegiatan peribadatan kebatina yang penting dalam perjalanan hidup dan merupakan cara untuk mencapai puncak peningkatan kekuatan spiritualitas Kejawen, yaitu menuu manunggaling kawulo gusti. Yang ditempuh dalam laku ini adalah kesatuan jiwa dan raga manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa manusia merupakan rasa yang dapat merasakan kedekatan dan bahkan menyatu dengan gusti Yang Maha Kuasa. Rasa adalah tolok ukur pragmatis dari segala mistik orang jawa atau Kejawen. Rasa yang membawa keadaan dirinya menjadi puas, tenang, tentram batin (tentrem ing manah), dan ketiadaan ketegangan.  
     Ngelmu dalam terminologi kejawen menggunakan kata pengawikan jawi, hakekatmya, bukan sekedar pengetahuan, melainkan mengandung kebijaksanaan. Olah pikir dan asah budi para pemikir Jawa senantiasa memakai slogan yang didambakannya aitu mamayu hayuning saliro, mamayu hauning bangsa, mamayu hayuning bawana (memelihara kesejahteran diri, memelihara kesejahteraan bangsa, memelihara kesejahteraan dunia). Konsep ngelmu tersebut adalah sangat jelas dipengaruhi oloeh konsep-konsep islam, yaitu mulai dari persoalan kosmologi sampai dengan adab suami isteri, sebagaimana dalam buku-buku Kejawen Betal jemur atau adam ma’na yyang dipengaruhi oleh kitab mujarobat.

     Disamping kegiatan laku dan olah rasa, sembahyang juga sangat urgen dalam pandangan Kejawen meskipun kata sembahyang dalam terminologi Jawa kuno tidak ada; yang ada adalah kata sembah dan hyang. Sembah berarti menghormati, tunduk; sedangkan hyang berarti dewa atau dewata. Dengan demikian., kesatuan istilah tersebut menjadi sembahyang yang berarti penyembahan kepada dewa atau Tuhan menurut aliran kepercayan Pangestu, konsep sembahyang atau ritual ada 2 cara, yaitu ritual kelompok (bawa raos) dan ritual perorangan (panembah dan pangesti). Tata cara ritual bawa raos meliputi : pangesti pembuka (mohon tuntunan), bawa raos (ceramah), pengungkapan pengalaman –pengalaman dalam penyiswan, pangesti penutup (mohon kesejahteraan), lagu Dandang Gula (eling-eling). Ritual perorangan panembah adalah semacam sembahyang wajib seperti shalat dalam agama islam. Pelaksanaan waktunya sesuai dengan jenjang kesiswaannya, sedangkan pangestia adalah do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dilaksanakan kapan saja. 
    Kegiatan laku dan sembahyang dalam pandangan kebatinan atau Kejawen merupakan cara atau jalan untuk memperdalam olah rasa dalam pencapaian kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Gusti Allah, atau dengan kata lain menuju kesatuan manunggaling kawula gusti.

Rumusan Rekayasa Sosio Kultural dalam Dakwah

     Dari uraian diatas, sistem kepercayan yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa pada umumnya adalah Hindu dan Budha sebagai Mainstream keagamaannya. Selanjutnya terjadilah sinkritisme ketika kerajaan-kerajaan atau bahkan di kedua keraton baik Yogyakarta, Surakarta, maupun Mangkunegara yang notabenenya merupakan pusat Kejawen beragama Hindu dan Budha, kemudian dalam proses perkembangan pergantian kekuasaan dikeraton pada saat yang bersamaan teradilah elaborasi Islam kedalam keluarga istana, hanya saa Islamisasi dilakukan secara evolusioner dan tanpa terjadi ketegangan ketika pertemuan antara kedua simbol dan ritus tersebut. Simbol-simbol dan ritus-ritus yang esensinya adalah laku, sembahyang dan olah rasa merupakan dasar atau inti Kejawen dalam pencapaian kesempurnaan hidup tertinggi. Berbagai ritus yang telah mendarah daging di masyarakat kejawen hingga dewasa ini masih sangat kental dan banyak pengikutnya khususnya di pulau Jawa.

Benda Budaya Jawa

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah Kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.

2.   Konsep Budaya Bali 

1.  Darma
Yaitu : suatu jalan yang halus dan sejuk yang dapat melindungi dan menjaga orang yang mengikuti dan menjauhkan  bencana sehingga menjadi orang yang gembira, tentram dan bahagia. 

2.  Tri Hita Karana :
Konsep keselarasan hubungan yang mendatangkan kebahagiaan. Keselarasan hubungan tersebut meliputi :
~       Keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan.
~       Keselarasan hubungan manusia dengan sesama manusia.
~       Keselarasan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. 

3.  Rwa Bhineda
Konsep dualistik yang mengekspresikan dua katagori yang berlawanan dalam hidup (positif dan negatif, baik dan buruk). Prinsip Rwa Bhineda sama dengan prinsip Yin-Yang dari budaya Cina. 

4.  Karmaphala
Satu dari lima sistem kepercayaan agama Hindu. (Panca Çarada) yaitu :
~       Percaya adanya Tuhan.
~       Percaya adanya atman (roh).
~       Percaya adanya Punarbawa (reinkarnasi).
~       Percaya adanya roh dan leluhur.
~       Percaya adanya karmaphala ó ini yang menjadi konsep budaya masyarakat Bali.

Kegiatan Budaya Bali 

       Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda/Pinandita mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.
       Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah (saat ini sudah ada Ngaben massal yang biaya lebih irit).
Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.
       Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda/Pinandita yang akan memimpin upacara. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben. Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan/dimandikan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga. “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik.
     Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya di kuburan, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat di “Lembu” yang telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda/Pinandita, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci. Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.

Benda Budaya Bali 

        Di Bali,  masyarakat Hindu sangat percaya bahwa barong dan rangda adalah sebuah pralingga yang beraspek religius  sehingga secara simbolis barong dan rangda diagungkan dan disucikan. Selain yang disucikan ada juga kesenian barong dan rangda yang khusus dipertunjukkan untuk para wisatawan. Pada mulanya, bahan bahan yang dipergunakan untuk membuat barong dan juga rangda sangat sederhana. Misalnya untuk membuat rambut dipergunakan daun pisang yang sudah kering atau lebih dikenal dengan sebutan keraras.
      Secara umum barong dan rangda terbuat dari bahan bahan kayu,  kulit dan juga rambu.Pembuatan barong dan rangda sehingga menjadi benda sacral sangat ditentukan oleh penentuan hari yang baik. Rambut yang umum digunakan sejak dulu adalah berasal dari bulu burung gagak untuk mendapatkan warna hitam,  bulu kokokan untuk mendapatkan warna putih dan praksok untuk mendapatkan warna putih. Tumbuhan praksok banyak tumbuh di rumah rumah penduduk di banjar Puaya. Untuk mendapatkan serat yang lebih putih dan halus daun praksok biasanya akan direndam terlebih dahulu. Kurang lebih duapuluh sampai tigapuluh hari perendaman,  daun praksok akan dijemur sampai kandungan airnya hilang. Setelah kering,  serat praksok ini akan diikat memanjang,  untuk selanjutnya dirangkai sebagai rambut barong. Pada bagian tertentu dari baron, seperti misalnya jenggot dan juga pinggang barong biasanya menggunakan rambut manusia untuk menghiasinya.
        Diyakini bahwa kekuatan terbesar dari barong,  selain pada bagian mata,  juga terdapat pada bagian jenggotnya. Selain menyiapkan rambut barong,  bahan bahan yang terbuat dari kulit juga disiapkan terlebih dahulu. Biasanya bahan kulit yang digunakan adalah kulit sapi.  Lembaran lembaran  kulit akan dibagi sesuai dengan ukuran yang diperlukan.
Pada barong ada beberapa bagian yang terbuat dari bahan kulit seperti badong,  sekartaji, gelungan,  kampid dara,  cotekan dan juga ekor. Setelah disket terlebih dahulu,  kulit selanjutnya diukir  untuk mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan.
       Bahan lainnya yang sangat perlu dipersiapkan adalah tapel untuk barong dan juga rangda.  Menentukan jenis kayu yang akan digunakan untuk pembuatan tapel barong dan rangda sangatlah penting. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu yang diyakini mempunyai kekuatan magis seperti kayu kapuh atau rangdu dan juga kayu pule. Memahat tapel tidak saja memerlukan ketrampilan tangan,  tapi lebih dari itu harus ada siatu penjiwaan yang total sehingga menghasilkan tapel yang memiliki karakter dan taksu. Pemberian warna pada sebuah tapel barong dan rangda merupakan hal yang betul betul diperhatikan. Dengan warna yang baik serta cocok akan memberikan kesan hidup berwibawa,  serta agung pada barong dan juga rangda.
                 Setelah bahan bahan seperti rambut busana serta tapel selesai dikerjakan proses dilanjutkan dengan  memasang bagian bagian pada kerangka yang sudah disiapkan. Dengan menentukan hari baik terlebih dahulu,  satu persatu bagian dari barong tersebut akan dipasang oleh beberapa orang sangging.  Selain membuat barong dan rangda, masyarakat di banjar Puaya juga memiliki ketrampilan untuk membuat berbagai macam jenis tapel. Masyarakat banjar Puaya juga memliki ketrampilan untuk membuat wayang kulit dan juga kerajinan pis bolong. Mereka mewarisi ketrampilan ini dari para pendahulu mereka secara turun temurun.  Banjar Puaya sebagai banjar pengrajin,  setidaknya menambah deretan desa pengrajin di kabupaten gianyar.

3.     Konsep Budaya Kalimantan

       Suku Bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau),  Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punanmandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua / benua. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda. Suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). 
      Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar.

Manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
  • Dayak Mongoloid
  • Malayunoid
  • Autrolo-Melanosoid
  • Dayak Heteronoid

Kegiatan Budaya Kalimantan

Tradisi Penguburan

       Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
  • Penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
  • Penguburan di dalam peti batu (dolmen).
  • Penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
  1. Wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak.
  2. Wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
Berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
  1. Lubekng (tempat lungun).
  2. Garai (tempat lungun, selokng).
  3. Gur (lungun).
  4. Tempelaaq dan Kererekng.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
  1. Penguburan tahap pertama (primer).
  2. Penguburan tahap kedua (sekunder).

Penguburan primer

  1. Parepm Api (Dayak Benuaq).
  2. Kenyauw (Dayak Benuaq).

Penguburan sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
  • Dikubur dalam tanah.
  • Diletakkan di pohon besar.
  • Dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

  1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
  2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
  3. Marabia.
  4. Mambatur (Dayak Maanyan).
  5. Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq). 
Benda Budaya Kalimantan 

        Salah satu kekayaan budaya itu adalah kerajinan getah kayu nyatu yang berasal dari pohon kayu nyatu. Pohon nyatu sendiri merupakan tanaman eksotis Kalimantan Tengah yang hanya tumbuh di dua wilayah tertentu di provinsi tersebut, yaitu di Kabupaten Pangkalan Bun dan di Kecamatan Bukit Tangkiling, Kota Palangkaraya.
        Getah kayu nyatu dimanfaatkan oleh masyarakat adat suku Dayak di wilayah tersebut sebagai bahan baku untuk pembuatan kerajinan khas suku Dayak, seperti berbagai bentuk perayu, patung masyarakat adat suku Dayak dan berbagai bentuk kerajinan lainnya.
Kini kerajinan getah nyatu telah menjadi salah satu ciri khas provinsi Kalimantan Tengah yang dikembangkan oleh masyarakat dengan dukungan Pemda setempat menjadi barang souvenir yang sangat unik dan menarik dari wilayah tersebut. Sejumlah kelompok usaha masyarakat adat suku Dayak setempat kini mengusahakan kerajinan kayu nyatu tersebut dan telah berkembang menjadi salah satu sektor usaha yang cukup menjanjikan bagi perkembangan ekonomi daerah.
        Dalam proses untuk mendapatkan getah, kata Katutu, para perajin getah nyatu biasanya menebang pohon nyatu. Kemudian batang pohon nyatu di kuliti untuk diambil bagian kulitnya. Selanjutnya, kulit kayu nyatu itu direbus di dalam air mendidih yang sebelumnya telah dicampur dengan minyak tanah. Proses perebusan tersebut dilakukan untuk memisahkan (mengekstrak) getah dari kulit kayu nyatu. Dalam keadaan air rebusan yang masih mendidih, getah pohon nyatu yang sudah terpisah dari kulit pohon itu kemudian diambil untuk selanjutnya direbus kembali untuk memisahkan getah dari sisa-sisa minyak tanah. Getah pohon nyatu yang sudah terpisah dari minyak tanah itu kemudian dipilah-pilah untuk proses pewarnaan. Untuk memberikan warna warni pada getah, Katutu dan para perajin getah nyatu di Kalteng biasanya menggunakan bahan pewarna alami yang diambil dari tanaman asli di Kalteng. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara merebus getah nyatu itu bersama-sama dengan bahan tanaman sumber pewarnaan alam. Biasanya pewarna alami yang dipakai terdiri dari empat jenis warna, yaitu hitam, kuning, merah dan hijau.
         Getah nyatu yang sudah diberi bahan pewarna alam itu kemudian diambil dan dalam keadaan masih panas (dalam rebusan air mendidih) langsung dibentuk dan dianyam menjadi berbagai bentuk kerajinan getah nyatu. Proses pembentukan getah nyatu harus dilakukan dalam keadaan masih panas karena dalam kondisi tersebut getah nyatu masih dalam keadaan meleleh sehingga mudah dibentuk. Sedangkan kalau sudah dingin, getah nyatu sulit dibentuk karena sudah berada dalam keadaan beku.
          Kerajinan anyaman getah nyatu umumnya mengambil bentuk perahu tradisional Dayak yang dilengkapi dengan awak dan berbagai asesorisnya. Bentuk perahu tersebut menggambarkan cerita tersendiri yang diambil dari cerita asli masyarakat suku Dayak di Kalteng. Sebagaimana diketahui di Kalteng sendiri terdapat sejumlah suku Dayak, diantara-nya Dayak Manyan, Kapuas, Bakumpai, Katingan, Kahayan dan Siak atau Ngaju. Bentuk perahu yang biasanya dipergunakan dalam kerajinan anyaman getah nyatu umumnya dicirikan dengan bentuk kepala naga dan kepala burung antang (elang) yang terletak di bagian depan perahu. Perahu yang mengambil bentuk kepala naga biasanya dipakai untuk menunjukkan perahu perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah (memindahkan kepala leluhur dalam agama Hindu Kaharingan), namun bentuk kepala naga pada perahu perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah sedikit berbeda. Sementara perahu yang mengambil bentuk kepala elang biasanya menggambarkan perahu berburu.
         Perahu perang berkepala naga juga memiliki posisi kepala naga yang berbeda. Posisi kepala naga yang mendongak ke atas menggambarkan bahwa perahu tersebut telah berhasil memenangkan peperangan. Posisi kepala naga lurus menggambarkan perahu sedang menuju ke arah peperangan. Sedangkan posisi kepala naga menunduk ke bawah menggambarkan perahu sedang dalam perang.



Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar